“Bagaimana makanmu di sini? Apa kamu kesulitan mencari makan di sini? Apakah kamu suka makanan Austria atau harus mencari makanan Indonesia?”
Selama berada di Vienna, kurang lebih pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang sering kali dilontarkan oleh para kenalan kepada saya untuk memastikan apakah saya bisa dengan cukup mudah menemukan apa-apa yang bisa dimakan; perlukah mengganti nasi dengan roti atau pasta, bisakah menemukan bumbu dan rasa yang sesuai selera, hingga apakah itu semua membuat cukup kenyang atau perlu mencari sesuatu untuk dimakan lagi. Awalnya, pertanyaan-pertanyaan terdengar seperti basa-basi sepele belaka. Namun, Lynn Harbottle (1997) dalam tulisannya menjelaskan bahwa preferensi makanan, termasuk rasa dan selera, dipengaruhi oleh budaya dan politik. Mengutip Lupton (1996, dalam Harbottle, 1997), ia menjelaskan bahwa persepsi terhadap makanan secara kultural direproduksi dalam satu generasi dan ditransfer pada generasi lainnya, sehingga erat kaitannya terhadap kekerabatan dan komunitas. Seseorang akan lebih mudah memakan makanan yang rasanya familiar dengan rasa ‘rumah’ atau rasa yang mudah ditemui sejak mereka kecil. Maka dari itu, ketika berada di tempat yang budaya dan makanannya berbeda, muncul pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana menyesuaikan rasa, selera, dan kebiasaan terhadap makanan yang ditemukan sehari-hari?
Pertanyaan-pertanyaan tadi saya refleksikan kembali pada komunitas migran dan diaspora Muslim yang saya temui di Vienna: bagaimana relasi mereka terhadap makanan dan berlaku sebaliknya, bagaimana budaya makan membangun relasi dan interaksi dalam kehidupan mereka. Jawabannya menuntun saya untuk melihat bahwa budaya makan yang hadir dalam keseharian para migran Muslim selalu berkelindan dalam dua aspek identitasnya, yakni sebagai migran dan sebagai Muslim. Dalam kategori pertama, saya menemukan bahwa makanan—dan budaya makan—selalu hadir di tengah komunitas, mulai dari kudapan ringan hingga makan ‘berat’ yang disajikan di acara-acara pertemuan. Menariknya, nation identity selalu hadir bersama dengan makanan yang disajikan. Misalnya ketika datang ke kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas diaspora Turki, jenis kue yang disajikan juga merupakan kue-kue yang umum ditemukan di Turki, lengkap dengan chai-nya. Begitu pula ketika menemui komunitas diaspora Indonesia, makanan yang disajikan adalah makanan Indonesia. Nasi dengan ragam lauk pauk, ketan abon, gorengan, hingga bubur merah dan bubur putih pada acara yang lebih ‘istimewa’. Ada kekhasan yang diklaim, menunjukkan adanya identitas yang dibawa dalam makanan dan budaya makan (lihat Kershen, 2017:7). Bahkan, beberapa orang secara terang-terangan menyebutkan bahwa berkumpul dengan komunitas sebangsa dan memakan makanan khasnya mengobati rindu akan kampung halaman yang sedang ditinggalkan.
Sementara itu, kategori kedua yakni agama menempatkan food taboo sebagai salah satu pembentuk preferensi dan pilihan makanan bagi kelompok ini. Agama memiliki relasi yang cukup erat dengan budaya makan dan makanan yang tergambar dalam berbagai ritual dan aturan. Termasuk dalam hal ini, Islam memiliki konsep halal-haram yang mengatur apa-apa yang boleh dan tidak boleh dimakan (Cohen, 2021). Selain mengidentifikasi apakah seseorang menganut kepercayaan sesuatu dan membedakan dengan penganut kepercayaan lainnya, aturan dalam makan ini kemudian menentukan preferensi makanan oleh para pemeluk. Pada kelompok migran Muslim yang saya temui, sebagian besar mengaku lebih suka untuk berbelanja bahan dan membeli makanan pada toko-toko berlabel halal yang dengan mudah dapat ditemukan di pasar tertentu dan pada toko Turki atau toko Asia dan menghindari daging tanpa label halal di toko Austria atau toko Eropa.
Ya, identitas yang disematkan tak hanya melekat pada individu—konsumen—namun juga direproduksi dan melahirkan persepsi yang pada berbagai produk dan bisnis yang berkembang di Austria, khususnya di Vienna. Dalam konteks yang lebih luas, makanan halal dan identitas yang meliputinya merupakan suatu fenomena tersendiri, terlebih keberadaannya di tanah Eropa. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, toko-toko yang menyediakan makanan halal di Vienna dicirikan oleh nama, ornamen, serta produk Turki, MENA, atau Asia secara umum. Sebab, keberadaan produk berlabel halal pada pasar Austria secara umum masih menuai kontroversi. Salah satu kasus pernah terjadi pada tahun 2016. Dilansir dari media Kleine Zeitung, salah satu retail supermarket Eropa, SPAR, sempat menjual daging berlabel halal namun menariknya kembali tak lama setelahnya karena menuai protes dari warga. Dengan berbagai alasan, keberadaan daging ini dinilai sebagai animal cruelty dalam kacamata Barat, namun juga menuai perdebatan karena “tak cukup halal” sebab dalam pembelaannya, proses penyembelihan tetap menggunakan proses stunning namun menambahkan ucapan yang disebutkan dalam proses penyembelihan halal (Kleine Zeitung, Juni 2016). Hingga saat ini, nyaris tidak ada produk berlabel halal yang bisa ditemukan pada supermarket Austria dan Eropa, kecuali produk impor yang memang berasal dari negara-negara ‘bersertifikasi halal’. Meskipun begitu, jika memperhatikan zat dan kandungan pada produk selain daging, selama dirasa boleh dikonsumsi, para Muslim tidak merasa keberatan untuk membeli produk yang tersedia di supermarket Austria.
Perjalanan selama tiga bulan di Vienna membuat saya menyadari bahwa meskipun makan merupakan hal yang esensial bagi kebutuhan biologis, dalam prosesnya selalu melibatkan aspek sosiokultural bahkan menyentuh dimensi politik yang dilematis. Selain rasa lapar yang perlu diatasi serta kebutuhan nutrisi yang harus dipenuhi sebagai sumber energi sehari-hari, dalam proses memakan makanan juga terdapat kesadaran, kebiasaan, dan persepsi yang terbentuk dalam suatu kelompok masyarakat, terlebih ketika ada proses adaptasi dan integrasi yang terjadi. Perjalanan ini meninggalkan pesan reflektif bahwa makanan akan selalu menjadi perihal multidimensional, lebih dari sekadar pemenuh rasa lapar dan selalu lebih luas dari ukuran piring di meja makan.
Ditulis oleh: Afifah Golda A. (Antropologi Budaya FIB UGM’2019)
Referensi:
Cohen, A. B. (2021). You can learn a lot about religion from food. Current Opinion in Psychology, 40, 1-5.
Harbottle, L. (1997). Taste and Embodiment: The Food Preferences of Iranians in Britain. Food Preferences and Taste: Continuity and Change. New York: Berghahn Books.
Kershen, A. J. (Ed.). (2017). Food in the migrant experience. New York: Routledge.
Kleine Zeitung. (2016, June 16). Spar stellt verkauf von halal-fleisch ein. Diakses dari https://www.kleinezeitung.at/politik/innenpolitik/4880181/Nach-Shitstorm_Spar-stellt-Verkauf-von-HalalFleisch-ein pada 5 Maret 2024.