Ada dua asumsi bias pandangan saya tentang masyarakat urban modern di Eropa secara umum: hidup dalam kemakmuran dan individualis. Pandangan itu kuat tertanam dalam pikiran saya sampai akhirnya saya punya kesempatan melakukan riset di Freiburg, Jerman. Tidak jauh dari seberang stasiun pusat kota, saya melihat seorang perempuan paruh baya sedang duduk menyender di depan sebuah toko, berselimutkan kain tebal dengan penutup kepala, mata tertutup sayu dan bibir bergetar kedinginan. Bagaimana bisa ada orang hidup terlantar di jalanan saat musim dingin seperti ini? Begitu gumam saya. Sejak saat itu, asumsi bias saya langsung tercabik-cabik dan terbuang tak berguna. Saya terdiam.
Sejak era revolusi industri, keberadaan tunawisma di kota bukanlah hal yang baru. Di kota besar seperti Berlin, misalnya, ada setidaknya 15000 tunawisma yang hidup terlantar tanpa tempat tinggal pada tahun 1872 (Poling, 2014:257; Vasudevan, 2015:32). Jerman dengan segala keperkasaan ekonomi makronya di masa kini ternyata tidak serta merta membuktikan bahwa kemakmuran terdistribusi dengan merata.
Beragam cara dilakukan oleh orang-orang yang tidak bisa mendapatkan tempat tinggal. Salah satunya yaitu dengan cara mengokupasi gedung-gedung kosong dan menciptakan sebuah sindikat proyek rumah sosial. Aku menemui salah satunya di Freiburg. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, di sana juga diadakan banyak acara dan pesta. Kami memasak dan makan bersama, berpesta, atau sekadar menghangatkan diri di sekitar api unggun. Bagi mereka, bersolidaritas dan saling mengasihi adalah cara terbaik agar bisa tetap hidup di tengah-tengah pesatnya industrialisasi, alih-alih saling berkompetisi untuk menjadi yang paling unggul.
“If someone want to buy but have less cash than the price, just give them. It’s not a big deal,” ucap seorang teman memberikan instruksi ketika aku sedang membantu menjadi penjaga bar saat pesta berlangsung di tempat itu.
Ternyata, hidup sebagai masyarakat urban di Eropa tidak sepenuhnya berada dalam logika untung-rugi, gelembung individualis, dan narasi kemakmuran. Ada berbagai alternatif dalam menjalani hidup. Pengalaman riset di Eropa semakin membuat saya yakin bahwa hidup manusia berada dalam spektrum kemungkinan yang luas. Dengan kata lain, hidup manusia tidak selalu mengikuti logika dari satu struktur sosial yang mendominasi saja. Menjadi orang yang terbuka dan bisa merangkul segala kemungkinan adalah pelajaran terpenting yang sedang aku pelajari mulai sekarang. Lebih dari itu, menjabat erat tangan dalam solidaritas juga perkara krusial yang harus semakin kita perkuat di masa kini dan masa yang akan datang.
Saya pelajari ini dari seorang teman di sana, sebuah ungkapan terkenal berkaitan dengan tradisi minum bir di Jerman yang tepat untuk menutup cerita ini: “Nur ein Schwein trinkt allein!” (Hanya seekor babi yang minum sendirian; mari kita minum bersama!)
Referensi
Poling, K. (2014). Shantytowns and pioneers beyond the City Wall: Berlin’s urban frontier in the nineteenth century. Central European History, 47(2), 245-274.
Vasudevan, A. (2015). Metropolitan preoccupations: The spatial politics of squatting in Berlin. John Wiley & Sons.
Penulis: Muhammad Harits Hibatullah (Antro 2020)