Di Norwegia, dibawah naugan kerja sama antara Universitas Gadjah Mada dan Universty in Agder, ketertarikan pribadi terhadap isu kesenjangan sosial mengantarkan saya pada kesempatan riset mengenai fenomena voluntarisme pada program Ferie for Alle (Holiday for All) di NGO Kristiansand Røde Kors (Red Cross Norwegia di kota Kristiansand). Terkait ini, seberapa keras menjelaskan topik skripsi tersebut, kepada orang tua maupun teman di Indonesia, kesan yang tercurah selalu sebatas “Ohhh, mau neliti motivasi relawan program bagi-bagi tiket liburan gratis untuk keluarga tidak mampu di Norwegia”.
Topik itu berasal dari dinamika 5 bulan pertama yang saya habiskan untuk merancang riset dan 5 bulan selanjutnya implementasi dengan riset lapangan dan menulis tesis. Pada awalnya terbayang mewawancari para voluntir secara langsung merupakan perihal yang sulit, asumsi dari tidak terbiasa berbicara bahasa inggris, tetapi ketika wawancara dengan informan pertama, mendengarkan jawabanya, kesan sulit seolah hilang dengan ditemukanya makna penting dari riset yang dilakukan.
Makna itu sebenarnya sudah terlintas tepat satu bulan sebelum riset lapangan. Ketika kerap mengunjungi taman ice skating tahunan (menjelang natal) di pusat kota yang dibuka secara gratis, saya sadar akan pentingnya mengusahakan kebahagiaan anak kecil bagi masyarakat Norwegia. Para anak kecil, yang selalu mendominasi populasi taman, selalu ditemani orang tuanya, diberi makan, dipakaikan dan dilepas sepatunya, hingga disemangati ketika berselancar di es.
Hal itu merasionalkan bahwa kerja keras para voluntir, yang tidak mendapat bayaran, sejatinya berdasar pada prinsip kesetaraan yang terbangun di Norwegia. Prinsip itu dipraktekan dalam usaha untuk memastikan para anak kecil di Norwegia mendapatkan pengalaman liburan ketika orang tua mereka tidak dapat memberikan. Ini menjadi logis ketika situasi sosial di Norwegia meingindahkan seorang anak kecil untuk terkucilkan karena semua teman sekelasnya menghabiskan liburan sekolah di kabin keluarga mereka di pegunungan, bermain ski disana, sedangkan dirinya hanya berdiam di rumah.
Pengalaman ini menekankan saya betapa pentingnya kerangka berfikir antropologis yang komparatif dan kontekstual. Walaupun masalah sosial tidak se-serius Indonesia, bukan berarti masyarakat Norwegia membiarkannya terjadi. Terlebih dengan kita mengamati, dapat dimengerti bagaimana masalah dialami dan ditanggapi. Hal itu tercermin dari salah satu informan yang dengan gamblang mengakui bahwa, Ferie for Alle itu sekedar “treating the symptoms of inequality”, dan bukan “eradicating it”.
Oleh: M Affan Asyraf