Home » Cerita Kerja Lapangan » Pasar Natal di Eropa

Pasar Natal di Eropa

Pada bulan Desember seperti ini, orang-orang di penjuru kota Eropa mulai disibukkan dengan berbagai acara kemeriahan Natal. Sewaktu saya melakukan kerja penelitian lapangan di Eropa bulan Desember tahun 2023, alun-alun Sechseläutenplatz di Kota Zurich, Swiss sudah ditata sedemikian rupa menjadi pasar Natal yang indah. Orang-orang berbondong-bondong ke sana bersama kawan, keluarga, sanak saudara, atau pasangannya. Mereka menikmati berbagai jajanan di antara gemerlap cahaya lampu hias dengan guguran salju saat malam hari. Sementara di siang harinya, alun-alun Werdmühleplatz ‘disulap’ menjadi wahana atraksi penampilan anak-anak bersama orang tuanya yang menyanyikan berbagai lagu Natal di pohon cemara buatan. Suasana Weinachtsmarkt (pasar Natal) di Kota Freiburg, Jerman juga tidak jauh berbeda. Di pasar-pasar ini ada penjual glühwein (wine hangat) yang spesial di saat Natal, pedagang bratwurst (sosis) dan roti, pengrajin pernak-pernik, penampil musisi, wahana sirkus, dan sebagainya. Para penjual atau penampil ditata di dalam kios-kios atau tempat-tempat lainnya yang tidak permanen, sehingga bisa dibongkar pasang ketika pasar Natal telah usai. Sementara itu, para pembeli atau pengunjung bebas memilih barang atau penampilan apa yang ingin dinikmati.


Foto: Orang-orang sedang berteduh dari hujan salju di salah satu pondokan kayu di pasar Natal Sechseläutenplatz, Zurich. (Sumber: dokumentasi pribadi penulis, 2023)


Foto: Anak-anak sekolah dasar dari Freiburg yang mendapatkan kesempatan mengisi acara Singender Weihnachtsbaum (Singing Christmas Tree) di alun-alun Werdmühleplatz, Zurich. (Sumber: dokumentasi pribadi penulis, 2023)

Suasana pasar Natal yang meriah seperti itu memang sudah menjadi daya tarik tersendiri untuk siapa saja yang berada di Eropa ketika bulan Desember. Di Indonesia, kita bisa melihat padanan suasananya di pasar-pasar Ramadhan yang ramai dikunjungi, apalagi menjelang jam buka puasa.

Pasar tidak hanya melibatkan hubungan antar orang-orang yang sudah dikenal seperti di antara saudara, kawan, pasangan, keluarga, atau kios langganan, tetapi juga antar orang-orang yang bisa jadi belum saling kenal. Sebagaimana pasar, maka ada penjual dan ada pembeli. Namun, para penjual glühwein di Zurich dan Freiburg belum tentu mengenal saya yang datang jauh-jauh dari Jogja, begitu pun sebaliknya. Si penjual kolak yang datang jauh-jauh dari Bantul ke pasar Ramadhan di Jogokariyan, Jogja pun belum tentu mengenal si pembeli yang mudik dari Jakarta. Meskipun saling asing, hubungan keduanya diperantarai oleh pertukaran antara barang dan jasa dengan uang. Si penjual menambahkan profit di dalam kalkulasi penjualannya, sementara si pembeli dibebankan dengan biaya tambahan tersebut untuk mendapatkan apa yang diinginkan sebagai gantinya. Kalkulasi itu merupakan konsekuensi logis dari praktik kompetisi dan akumulasi yang dibawa oleh sistem kapitalisme pasar hari ini. Inilah yang kemudian mengondisikan sebuah hubungan timbal balik yang kita anggap lumrah (taken for granted) sebagai suatu pengorganisasian “pasar”, hingga praktik ekonomi arus utama di masa kini. Tidak peduli dari mana produksi dilakukan, siapa yang melakukannya, dan mengapa mereka melakukannya, selama berada di dalam hubungan timbal balik demikian, maka penjual dan pembeli bisa bertemu dan berinteraksi.

Lantas, apa jadinya “pasar” dengan pengorganisasian di mana si penjual tidak menambahkan kalkulasi profit dan si pembeli tidak dibebankan biaya tambahan kalkulasi tersebut untuk barang dan jasa yang diinginkan atau dibutuhkan?

Di dalam sebuah bangunan tua yang letaknya di pinggiran Kota Freiburg, pasar Natal ternyata bisa diorganisasi dengan cara yang berbeda. Gedung tua ini dikelola oleh sekelompok orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai kaum otonom, atau para penganut ide dan praktik anarkisme yang berkembang di Jerman Barat sejak tahun 1970-1980-an. KTS, atau Kulturtreff in Selbstverwaltung (tempat pertemuan kultural swakelola), demikian mereka menamai gedung tersebut.

Pada tanggal 29 Desember 2023, mereka mengadakan sebuah acara yang diberi tajuk “Anti-Christmas Market”. Ketika saya menyambanginya, ada berbagai makanan dan minuman, sebagaimana di pasar Natal pada umumnya. Ada pula barang-barang yang dipajang di atas meja. Namun ternyata semua sajian dan barang-barang itu tidak perlu dibeli. Tiap orang yang datang ke acara ini bisa membawa barang-barang mereka hanya untuk disumbangkan atau ditukarkan dengan barang lainnya. Makanan dan minuman boleh dibayar melalui skema donasi, bisa juga dinikmati secara cuma-cuma. Ketika itu saya mencoba glühwein dan sup hangat gratis, tidak seperti di pasar Natal yang harus membayar. Orang-orang yang datang ke sini saling berbincang-bincang, bermain kartu, menikmati musik dan berbagai hal menyenangkan lainnya. Pertukaran di pasar umumnya yang didasarkan profit ternyata tidak bekerja di sini.

Di lain waktu, saya mengunjungi ruangan di gedung itu yang bernama “Free Shop” (Toko Gratis). Andreas, salah satu aktivis yang aktif berkegiatan di KTS, menemani saya ke ruangan itu. Di sana, dia meletakkan beberapa barang yang dibawa karena sudah lama tidak dia pakai. Daripada sia-sia, menurutnya akan lebih baik jika barang-barang tersebut diberikan ke Free Shop siapa tahu ada orang yang merasa masih butuh dan bisa digunakan. Di ruangan tersebut, saya mengambil satu karabiner dan menyumbangkan salah satu kaos milik saya. Setiap orang bisa mengambil barang-barang yang dibutuhkan di sini sekaligus menyumbangkan sesuatu sebagai gantinya apabila ingin. Baik di acara “Anti-Christmas Market” maupun ruangan “Free Shop”, kemanfaatan dan pertukaran sosial melalui berbagai aktivitas menjadi aspek yang jauh melampaui kalkulasi untung rugi ekonomi. Bahkan di negeri yang menjadi pelopor kapitalisme modern seperti Jerman, kritik terhadap pengorganisasian ekonomi arus utama terus menerus dipraktikkan.

Foto: Poster acara “Anti-Christmas Market” di KTS, Freiburg. (Sumber: disadur oleh penulis melalui grup Telegram KTS, 2023)

Pengalaman ini membuat saya memikirkan ulang tentang “pasar” pada umumnya, hingga praktik ekonomi arus utama yang mendikte kehidupan masyarakat di Indonesia kini. Dewasa ini, misalnya, Indonesia menjadi salah satu pemasok terbesar minyak kelapa sawit ke pasar global dengan porsi 50%. Namun, di saat yang bersamaan, Indonesia menempati posisi ketiga setelah Rusia dan Thailand sebagai negara dengan distribusi kekayaan yang timpang (Li & Semedi, 2021). Praktik pasar dalam sistem kapitalisme masa kini jauh lebih banyak memproduksi ketimpangan bagi sebagian besar populasi dunia dan menyumbang profit besar bagi segelintir lainnya. Pertanyaannya, mengapa kita seakan-akan masih terjebak di dalam sistem yang memproduksi ketimpangan ini dari waktu ke waktu? Mengapa pasar sekaligus ekonomi makro tidak diorganisir melalui sistem yang memproduksi kemanfaatan dan pertukaran sosial, tanpa sepenuhnya didikte oleh profit?

Referensi

Li, Tania., & Semedi, Pujo. (2021). Plantation life: corporate occupation in Indonesia’s oil palm zone. Duke University Press.

 

Penulis: Muhammad Harits Hibatullah

 

Share the Post: