Pada kisaran tahun 2012-2013, Indonesia diguncang dengan pemberitaan tentang Pony Orangutan yang dijadikan objek seks komersial di salah satu perkampungan di area perkebunan kelapa sawit daerah Kerengpangi, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Ternyata, relasi seksual manusia-hewan (bestialitas) tidak hanya terjadi di Indonesia. Eropa, dengan segala modernitasnya, mencatat hal yang sama. Nimoeller (1946) menyatakan bahwa praktik bestialitas merupakan hal yang well-established dalam kehidupan masyarakat di Eropa. Beberapa media internasional juga memberitakan adanya Bestiality Brothels sebagai tempat prostitusi khusus hubungan seks dengan hewan. Namun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, negara-negara di Eropa mulai menetapkan hukum pidana atas tindakan bestialitas. Penetapan hukum ini menjadi indikasi bahwa bestialitas masih terjadi dan disikapi secara serius di Eropa.
Riset ini mengambil studi kasus Belanda sebagai negara Eropa yang paling aktif dalam memberikan ruang terhadap freedom of sexuality. Langkah Belanda dalam menetapkan hukum pidana atas bestialitas pada tahun 2010 menimbulkan pertanyaan besar sebab Belanda adalah negara pertama yang melegalkan kebebasan terkait seksualitas, seperti prostitusi (2000) dan pernikahan sejenis/homoseksual (2001). Belanda juga menjadi pemasok terbesar 80% video pornografi bestialitas di seluruh dunia (Algemeen Dagblad, 2007). Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa bestialitas di Belanda dilarang? Bagaimana masyarakat Belanda memandang bestialitas? Bagaimana sebenarnya normativitas seksual Belanda yang mengatur sejauh mana tindak seksual dibebaskan dan dibatasi?
Selama melakukan riset lapangan di Amsterdam, penulis menemukan bahwa selain freedom of sexuality, diskursus animal protection juga memiliki pengaruh yang kuat. Belanda bahkan memiliki partai khusus perlindungan hewan yaitu Partij voor de Dieren (PvdD). Namun dinamika menjadi menarik karena yang mengusulkan Undang-Undang pelarangan justru dari Partai Buruh (Partij voor de Arbeid). Hal ini dilakukan untuk melawan stigma bahwa bestialitas dekat dengan kaum buruh, petani, dan peternak dari daerah rural yang lebih sering bersinggungan dengan hewan. Selain itu, sexual consent menjadi hal utama dalam berbicara masalah seksualitas Belanda. Normativitas seksual di Belanda tidak lagi mempermasalahkan antara heteronormativity dan homonormativity, namun lebih pada human normativity dengan batasan consent. Dalam hal ini, hewan dianggap tidak memiliki kemampuan menyatakan consent sehingga relasi seksual dengan hewan dianggap sebagai tindak kekerasan. Kondisi ini menyebabkan: (1) pergerakan komunitas zoofile di Belanda cenderung tersembunyi; (2) Bestiality Brothels cenderung bersifat privat dalam jaringan eksklusif; (3) Produksi dan distribusi video pornografi bestialitas dilakukan antar personal; (4) Tindak bestialitas berdampak pada isolasi sosial bahkan sampai pada tataran isolasi keluarga. Hal tersebut menjadi karakteristik bestialitas di Belanda
Oleh: Salfiah Rahmawati