Home » Cerita Kerja Lapangan » Semuanya Berjalan Begitu Cepat

Semuanya Berjalan Begitu Cepat

Catatan dari Lapangan
Amadeus Abhirama Paramanindita: Zürich, 22 Juli 2025

Eropa ternyata tidak menimbulkan culture shock yang terlalu heboh buat diriku. Aku tiba di Zürich Flughafen pukul dua siang, beberapa hari setelah titik balik musim panas: hari terpanas di belahan bumi utara untuk sepanjang tahun. Yang muncul di benakku ketika keluar dari
bandara, membopong tas carrier berat, adalah “Wow, rasanya kayak dulu waktu nyampe di Wonokerto ya.” Memang, cuaca saat itu mengingatkanku akan waktuku di Pekalongan di awal tahun 2024 yang lalu. Suhu saat itu hampir meraih 40 derajat celcius, tiada angin yang
berhembus. Yang membedakan hanyalah tidak ada semerbak wangi ikan yang mengendap di udara.

Aku dan Novi dan Salsa dijemput oleh Mas Wahyu saat itu, yang mengantarkan kami ke kampus Universität Zürich. Karena kondisi lungkrah setelah flight yang lama, beban berat yang dipikul di punggung, dan udara yang terik menyengat, aku terengah-engah mengikuti pace jalan Mas Wahyu yang cepat. Dari bandara ke kampus, kami punya pilihan menaiki kereta atau bis atau tram. Saat itu kukira Mas Wahyu berjalan cepat karena harus membeli tiket dulu, lalu mengejar jadwal transportasi umum kami. Maka aku tidak banyak komplain, dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak ketinggalan.

Setelah beberapa hari di Zürich, aku mulai sadar bahwa bukan hanya Mas Wahyu yang jalannya cepat. Semua orang, baik tua atau muda, pria atau wanita, berjalan dengan tempo yang rasanya seperti ketukan 4/4. Di stasiun, di trotoar, di supermarket, di manapun. Pernah
suatu kali aku kembali ke kampus dari kantin yang jaraknya sekitar 500 meter dari kampus, mendahului temanku mahasiswa UZH yang sedang merokok. Dengan headstart sekitar satu setengah menit itu, aku tiba di lift bersamaan dengan dirinya. Gila. Selama beberapa kali
berjalan bersama teman-teman lokal yang lain pun, mereka kerap berkomentar: “Why do you guys walk so slow?”

Menurutku sendiri, laju langkahku relatif lumayan cepat; paling tidak di Indonesia. Mungkin ini karena kakiku yang relatif panjang, jadi setiap langkah yang kuambil juga mencakup jarak yang lebih jauh, sementara kecepatanku tetap normal-normal saja. Nah, di Zürich, setiap orang memiliki langkah yang panjang plus kecepatan jalan yang cepat. Jadilah aku harus ikut belajar berjalan cepat juga kalau tidak mau tertinggal. Sebenarnya aku lebih suka berjalan santai, menikmati pemandangan di kota yang asing ini, sambil mendengarkan lagu Fstvlst yang melantun di TWSku. Jawabanku terhadap pertanyaan pace jalan itu selalu “Chill man, you guys walk like there’s no tomorrow. Enjoy the walk, why rush?

Begitulah pola pikirku, sampai aku pertama kali ketinggalan kereta.

Jadi kisahnya saat itu aku ada janji untuk mengikuti sebuah acara di tempat risetku. Untuk ke sana, aku perlu naik kereta. Sistem transportasi umum di Swiss memiliki sebuah aplikasi bernama SBB, yang menampilkan jadwal dari semua kendaraan dari semua
pemberhentian di Swiss. Nah, dengan santai aku berjalan dari apartemen yang kutinggali, yang posisinya hanya satu blok di belakang stasiun. Dengan laju jalanku, aku melangkah santai sambil bersenandung, menenteng sebuah pisang yang kujadikan bekal. Setibanya di stasiun, aku mulai mempercepat langkah karena ternyata kereta sudah tiba di peron; aku masih harus turun dari peron 8 tempat aku tiba, lalu naik lagi ke peron 6 tempat kereta berhenti.

Setelah agak kemrungsung berjalan cepat-semi berlari, tibalah aku di peron 6: tepat ketika pintu gerbong tertutup dan kereta mulai berjalan. Sambil mengumpulkan nafas, aku hanya bisa berdiri di peron, menatap ke papan pengumuman yang menunjukkan bahwa kereta berikutnya akan tiba delapan menit lagi. Setibanya di stasiun tujuanku, temanku yang kuajak janjian dengan singkat bertanya “Why late?” dan aku hanya bisa berkata “I missed my train.” Jadilah aku harus berjalan cepat-semi berlari lagi untuk menuju tempat riset.

Sejak saat itu, aku mulai berlatih mempercepat jalanku. Aku mulai memahami bahwa orang Swiss (atau orang Zürich, paling tidak) berjalan dengan tujuan: untuk bisa pergi dari titik A ke titik B, lalu memiliki waktu lebih banyak di tempat tujuan. Jika dipikir lagi, alasan itu juga
kurang lebih sama dengan alasanku agak ndugal kalau menyetir motor di Jogja – hanya berbeda mode transportasi saja di sini. Ditambah dengan harus mengejar jadwal transportasi umum yang rigid dan pasti, maka tidak heran bahwa orang-orang di sini melangkah dengan
kencang. Aku pun merasa bahwa pelan-pelan jalanku juga mengikuti pace warga lokal; kecuali kalau memang sedang berjalan dengan tujuan untuk bersantai semata. Di tengah kota yang berputar begitu cepat, aku merasakan diriku pun terdorong untuk ikut tergesa.

Share the Post: