Menapaki pertengahan-akhir musim semi 2019, saya berkesempatan hadir di tengah-tengah kehidupan yang erat dengan hutan, yakni melakukan penelitian di hutan sudut kota Freiburg. Tidak banyak cerita yang saya dapatkan. Tetapi jika ditilik kembali pada catatan harian, rasa-rasanya masih ingat betul cerita Martine yang mengajak kami berkeliling di siang itu. Pada awalnya saya berpikir, apa mungkin seramai ini orang-orang hadir di tengah Sonntagsspaziergang: Bäume bestimmen, pada sebuah kegiatan yang diadakan instansi rumah hutan (Waldhaus) untuk mengenal macam-macam pohon di hutan kota Freiburg? Agaknya masih kentara di benak saya, bagaimana masing-masing dari kami mengikuti arahan Frau Martine dalam memperlakukan pepohonan. Agaknya, sejak hari itu juga, semua rasa penasaran bahwa apa sebenarnya yang dituturkan mereka soal hutan ini selalu, dan akan menyelimuti belantara pikiran saya.
Ada yang bilang kalau hutan adalah tempat di mana kebebasan berada; tempat di mana pertemuan para kawan; tempat manakala sebuah kepentingan diadudombakan; juga sebuah identitas yang melekat pada kebudayaan orang Jerman. Alih-alih, Martine juga mengatakan, “der wald ist die Deutsche seele” {hutan adalah jiwanya orang Jerman}. Kehidupan hutan menyangkut pula kebudayaan Jerman. Pemaknaan yang terus direproduksi dari beberapa abad lalu membentuk nilai-nilai hutan yang diasosiasikan dengan kehidupan sosial orang Freiburg. Dalam satu kisah yang saya dapatkan dari Jeffrey K. Wilson (2012), hutan-hutan di Jerman diabadikan in order that Germany remains German (agar Jerman tetap menjadi Jerman). Dalam kata lain, lingkungan hutan dirasionalisasi dalam bentuk tindakan-tindakan yang dengannya muncul aktivitas-aktivitas yang lekat dengan hubungan manusia-hutan.
Pada kota yang mendukung sebuah kebijakan kehutanan berkelanjutan, hutan Freiburg diartikulasikan pada tindakan-tindakan yang mengantarkan sebuah bentuk relasi manusia dengan lingkungannya. Hal ini membuat hutan kota—melalui salah satu instansi kehutanan: Stiftung Waldhaus—menjajakan fungsi yang edukatif dan ekologis. Dalam penampilannya, hutan dihiasi oleh sebuah kriya: patung-patung yang dibentuk dengan disertai sebuah deskripsi—yang menjelaskan arti patung tersebut. Walau, sebenarnya patung ini dituturkan untuk menarik perhatian para pengunjung yang kerap datang ke hutan. Namun, di sana dapat saya saksikan, hutan menjadi sarana munculnya percakapan. Lingkungan di mana orang tua mengenalkan anak-anaknya pada hehijauan. Lingkungan di mana Freiburger dengan anjing-anjingnya menikmati sore, melepaskan penat sejenak di kehidupan perkotaan. Kalau naik sedikit pada dataran tingginya hutan Freiburg, biasanya pemandangan para pesepeda (mountain bikers) selalu terlihat dari atas sana. Lantas sebenarnya fenomena ini menyisakan pertanyaan, bagaimana sejatinya pemaknaan hutan sebagai identitas Jerman berkaitan erat dengan tindakan-tindakan yang mencuat?
Kiranya, melakukan penelusuran terkait identitas dan pemaknaan terhadap hutan, tidak serta-merta mengantarkan saya pada pemahaman utuh mengenai orang Jerman. Rasanya sulit membaca mereka dari sudut pandang orang luar. Berbagai upaya sudah dilakukan, agaknya masih menjadi pekerjaan rumah bagi saya. Tentu, hal ini tak luput dari berbagai kendala dan jarak yang membatasi saya, mereka dan tulisan ini. Barangkali beberapa minggu saja tidak cukup untuk melihat secara holistik kebudayaan liyan. Namun untuk mengakhiri, pengalaman itu menjadi catatan mengesankan bagi saya, bagi dunia antropologi yang saya bayangkan—yang bertalian dengan refleksi saya pada gambaran bagaimana dulu para ahli antropologi meneliti orang-orang jauh di luar kebudayaannya.
Oleh: Fahmi Rizki Fahroji