Bangsa Indonesia terbentuk karena kemampuan para pendiri bangsa merengkuh anak bangsa yang berasal dari ribuan pulau, berbeda bahasa, suku bangsa dan adat istiadat. Keberadaaannya bergantung pada upaya anak bangsa untuk terus menerus menyambut dan merayakannya. Terkait dengan upaya untuk merayakan Indonesia dan merengkuh tepi bangsa, Laboratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi (LAURA) yang berada pada Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, bermaksud menyelenggarakan kegiatan Simposium dan Pergelaran Budaya “Menyapa Indonesia, Merengkuh Tepi Bangsa: Resiliensi Wajah Sumba dalam Pusaran Zaman” pada tahun 2018 ini.
Kegiatan simposium dan pameran ini menjadi jembatan yang mempertemukan lintasan keragaman pemikiran, gagasan dan praktik tindakan yang dijahit menjadi lembar yang sama, menjadi cara pandang arah perubahan yang berdiri pada pondasi kebudayaan yang berakar pada masa lalu namun bersifat luwes, inklusif dan kompromis terhadap gerak perubahan zaman baru, sehingga jauh dari adu kekuatan yang saling menaklukkan dan menyingkirkan sistem tata kelola kehidupan yang berlangsung. Tema Sumba dipilih sebagai representasi pendekatan terhadap kawasan terluar Indonesia lainnya, dalam menghadapi tantanganzaman baru dengan harapan yang lebih besar menuju pemajuan kebudayaan yang berkelanjutan dan menyejarah.
Pulau Sumba atau Tanah Humba, berpenduduk sekitar 700.000 jiwa, memiliki pesona yang berkesan eksotis bagi banyak orang. Namun demikian, bila kita berada di tengah-tengahnya, kita bisa merasakan bahwa kualitas peri kehidupan mereka masih memprihatinkan. Misalnya, sehari-hari orang masih kesulitan makan tiga kali sehari, banyak anak putus sekolah serta masih banyak orang muda yang harus keluar pulau untuk menyambung hidup sebagai tenaga kerja rendahan. Oleh karena Indonesia sedang menyelenggarakan pembangunan nasional yang dimulai dari pinggiran, maka ada tantangan untuk membicarakan transformasi sosial terencana secara kontekstual bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Sumba yang berada di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).
Secara khusus simposium ini akan mengekplorasi “Resiliensi Wajah Sumba dalam Pusaran Zaman”. Artinya, di dalam simposium ini hubungan antara adaptasi pada keanekaragaman alam dan hayati dengan representasi-representasi ruang dan waktu (sosial-budaya), akan dibahas hingga implikasinya pada struktur dan lembaga-lembaga sosial yang memproduksi kebijakan dan proses perubahan sosial. Dengan sendirinya usaha pemajuan kebudayaan akan menjadi tulang punggung memajukan kesejahteraan umum melalui program desa membangun.
Para akademisi muda dan praktisi dari berbagai latar belakang dihadirkan dalam simposium ini. Mereka berasal dari berbagai bidang keilmuan. Di antara mereka, ada yang sudah bekerja di universitas, LSM, dan birokrasi. Secara interdisiplin dan holistik, mereka diharapkan bisa memberi kontribusi bagi model transformasi sosial dan budaya yang strategis dan dapat ditindaklanjuti.
Pergelaran berlangsung selama 9 (sembilan) hari dan akan menjangkau ribuan pengunjung generasi muda Sumba dan publik yang lebih luas. Harapannya, keterlibatan mereka akan menjadikan ruang pameran dan pasar pengetahuan ini sebagai media bertatap muka mempertemukan bentuk-bentuk keragaman pemikiran, gagasan kreatif dan praktik tindakan dengan cara pandang arah perubahan yang berdiri di atas pondasi kebudayaan yang berakar pada masa lalu, yang bersifat luwes, inklusif dan kompromis terhadap gerak perubahan zaman, sehingga jauh dari adu kekuatan untuk saling menaklukkan dan menyingkirkan sistem tata kelola hidup dan penghidupan yang sudah berlangsung sebelumnya di tepian bangsa ini. Masa lalu selalu baru. Ruang ini secara interaktif akan mencoba mengajak ragam kreasi, gagasan kreatif dan praktik tindakan Sumba, baik dulu, kini dan mendatang, dalam keniscayaan tantangan zaman baru. Sumba menjadi saksi perjalanan tumbuh kembang kebangsaan Indonesia.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jadwal rangkaian acara, silahkan klik disini.
Gambar ilustrasi poster oleh @ratotanggela