Christoph dan saya memanen wortel langsung dari tanah. Hasil panennya kecil-kecil, kata Christoph karena musim panas lalu Jerman dilanda kemarau. Sesekali, Christoph langsung melahapnya. Lalu ia berkata bahwa semakin kecil wortel, maka semakin lezat dan manis rasanya, jadi ia pun heran, mengapa banyak supermarket me-reject wortel kecil seperti ini dan alih-alih memilih wortel besar yang warnanya sama sekali tak alami? Kami masih berdiskusi tentang mekanisme penerimaan pangan di supermarket ketika menyetor hasil panen ke anggota yang bertugas mencuci dan memilah. Lalu kami kembali ke depan tenda, di mana meja makan sudah siap dengan berbagai kudapan yang dibagi bersama para petani, sukarelawan, dan anggota. Tak terlihat siapa yang petani dan siapa non-petani. Di Lebensgarten hari itu, semua tampak kotor dan kedinginan, hasil berjibaku memanen sayur yang akan didistribusikan ke para anggota selepas makan siang.
Lebensgarten adalah satu dari sekian banyak Solidarische Landwirtschaft yang tersebar di Jerman. Konsep ini dipahami sebagai sebuah komunitas ekonomi di mana terdapat produsen dan konsumen yang saling berbagi tanggungjawab untuk keberlangsungan pertanian (Solidarische Landwirtschaft, 2019). Dalam tataran globalnya, konsep ini dikenal sebagai Community Supported Agriculture (CSA). Karena ingin menjadi CSA yang merupakan alternatif atas kerusakan-kerusakan ekologis dan sosial dari sistem pangan industrial (Kloppenburg et al., 1996; Goland, 2002; Hayden and Buck, 2012), Lebensgarten memakai pertanian biodinamis yang ramah lingkungan, dan petani pun digaji berdasarkan jasa mereka, bukan berdasarkan kuantitas dan kualitas komoditas yang dapat mereka hasilkan.
Di dalam CSA di Freiburg, mereka mengedepankan asas solidaritas terhadap pertanian dan elemen yang bercokol atasnya; petani, resiko panen, modal seperti mesin dan alat-alat pertanian. Distributor dihilangkan; anggota dituntut untuk berpartisipasi aktif mengambil langganan sayur dan ikut rapat-rapat komunitas. Setiap tahun, mereka akan rembukan berapa pengeluaran tahun selanjutnya, lantas dibagi dengan jumlah anggota yang masih memutuskan untuk berlangganan, dan mendapatkan jumlah rata-rata. Bilamana ada yang hendak membayar lebih, diperbolehkan. Bilamana ada yang hendak membayar kurang, maka akan dirembuk kembali apakah ada anggota lain yang bersedia untuk menutup kekurangan anggaran. Semua bernegosiasi dan berusaha agar kegiatan pertanian bersolidaritas ini dapat berlangsung. Mereka hanya tak boleh menjual kembali hasil panen atas nama pribadi atau kelompok. Pangan disirkulasikan di dalam komunitas.
Dalam penelitian yang dilangsungkan selama tiga bulan (Desember 2018-Februari 2019) dalam Program Riset Tandem di Freiburg ini, saya tertarik untuk melihat negosiasi yang terjadi di dalam CSA untuk mempertahankan kegiatan mereka. Beberapa literatur telah menyinggung CSA sebagai bagian dari Gerakan Sosial Baru, dan dengan tidak melepaskan kerangka pemikiran ini, saya tertarik untuk melihat praktik dan pemahaman akan “solidaritas” di CSA sebagai prinsip yang dianut bersama untuk saling bernegosiasi. Sebab, kendati cara main di CSA sudah mem-filter orang untuk menekan kepentingan pribadi yang komersil, latar belakang ideologi bisa saling bersinggungan dan menyebabkan beberapa anggota berhenti berlangganan, lantas berpengaruh pada kestabilan komunitas. Dengan negosiasi, CSA pun juga masih bisa bertahan menghadapi rantai penyediaan pangan kapitalistik, atau ritel pangan organik nan etis lain yang lebih praktis dan ekonomis di luar sana.
Oleh: Gusti Nur Asla Shabia