• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat IT
  • Perpustakaan
  • LPPM
  • Surel
  • Bahasa IndonesiaBahasa Indonesia
  • EnglishEnglish
Universitas Gadjah Mada Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sekilas Pandang
    • Sejarah & Visi
    • Staf
  • Program Studi
    • Program Sarjana
      • Kurikulum
      • Ujian Skripsi dan Yudisium
      • Pendaftaran
    • Program Magister
      • Kurikulum
      • Ujian Tesis dan Yudisium
      • Pendaftaran
    • Program Doktor
      • Kurikulum
      • Pendaftaran
      • Tahapan Perkuliahan
  • Riset Publikasi & Kepustakaan
    • Kerja Sama
    • Penelitian & Publikasi
      • Ringkasan Kebijakan
      • Plantation Life
      • Lembaran Antropologi
    • Pelatihan & Pengabdian Masyarakat
    • Laboratorium Antropologi
    • Perpus Antropologi
  • Kemahasiswaan
    • International Student
      • International Student Application
      • Global Mobility Erasmus +
      • Credit Conversion Guide
    • KEMANT UGM
    • Tim Penelitian Lapangan
    • Ruang Kerja Mahasiswa
    • Alumni
  • Kontak
  • Beranda
  • Cerita Kerja Lapangan
  • Distribusi Kemakmuran di Eropa

Distribusi Kemakmuran di Eropa

  • Cerita Kerja Lapangan
  • 15 Juli 2022, 10.51
  • Oleh: antropologi
  • 0

Mungkin mengejutkan, tetapi mungkin juga tidak, bahwa di kota-kota yang makmur di Eropa ada banyak orang yang hidup sebagai peminta-minta. Di depan toko-toko yang menawarkan kemakmuran dan kemewahan, duduk peminta-minta yang mengharap belas kasihan untuk mendapat penghidupan dari para pembelanja. Kadang ada pula yang membawa tulisan “Fur essen bitte”, “Sekadar untuk mendapat makan, tolong”. Dalam pandangan moralistik tidak seharusnya di negeri yang makmur ada warga yang hidup di jalanan, tidur di emper pertokoan, miskin dan terlantar, dengan kondisi kebersihan yang memelas. Telaah politik-ekonomi kritis menunjukkan bahwa janji kemakmuran orde industri-kapitalistik memang tidak terdistribusikan dengan merata menurut strata sosial, kelompok etnis maupun variasi geografis. Pengamatan terhadap para peminta-minta di kota besar Eropa menunjukkan bahwa secara sosial mereka tidak tersebar secara acak. Mereka bekerja dalam kelompok sosial daerah asal yang mapan dan  mereka menempati wilayah kerja tertentu. Pagi sebelum toko buka, para peminta-minta bangun dari tempat istirahat kelompok di sudut-sudut kompleks pertokoan tertentu. Setelah makan pagi dan minum kopi yang dibeli dari warung roti, mereka segera menuju ke titik kerja masing-masing. Ada peminta-minta yang duduk menetap, karena sudah renta, menunggu jatuhnya uang logam ke topi yang ditengadahkan. Ada pula yang bergerak aktif mendekati para pembelanja, mengajukan cangkir kertas tempat kopi bekas. Lantas dari waktu ke waktu ada salah satu anggota kelompok yang berkeliling, menanyakan keadaan si peminta-minta, sudah makan apa belum. Pada sore hari, sekitar jam 17.00 sebagian peminta-minta berhenti  bekerja dan kemudian duduk bersama di bawah pohon taman kota. Mereka ngobrol menceriterakan itu ini. Ada yang mengambil tempat agak terpisah dan berkomunikasi melalui hape, mungkin berbicara dengana anak atau keluarga di kampung halaman sana. Tak pelak lagi kerja meminta-minta ini secara sosial tertata dan terlembaga. Sedemikian tertatanya kelompok peminta-minta ini sampai ada dugaan di kalangan masyarakat luas bahwa mereka dikoordinasi oleh semacam mafia. Investigasi oleh stasiun televisi Bayern menunjukkan bahwa dugaan tersebut tidak tepat (Rundfunk, 2019). para peminta-minta memang punya kelompok yang tetap sebagai mekanisme untuk menjaga kelangsungan kegiatan kerja mereka, namun mereka tidak dikuasai oleh kelompok pelindung yang predatoris. Secara teratur menumpang bus antar-negara para peminta-minta kembali ke desa asal yang bisa ratusan kilometer dari tempat kerja, membawa pulang uang untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anak dengan harapan bahwa mereka besok bisa mendapat karir yang lebih baik. Dari sudut pandang ini, kerja sebagai peminta-minta di kota-kota Eropa mungkin bisa dilihat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan dari bagian negeri yang memiliki akses besar terhadap  kemakmuran industrial ke bagian negeri yang tidak mendapatkan akses tersebut.

 

Penulis: Pujo Semedi

Referensi:

A. Tillack (Director). (2019, 29-11-2019). DokThema [Television series episode]. In Rundfunk, B. (Executive producer), Die Bettler aus der Walachei: Bedürftige oder organisierte Bande? Munich.

Leave A Comment Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Search

Rilis Berita

  • CALL FOR APPLICATIONS: GLOBAL STUDIES PROGRAMME 2024
    29 September 2023
  • Pengumuman Dosen Pembimbing Hasil Seminar Proposal Tesis Semester Gasal 2023/2024
    29 September 2023
  • Pengumuman Seleksi Tandem Freiburg 2023
    27 September 2023
  • Zine Departement of Anthropology UGM and ISEK-Department of Social Anthropology and Cultural Studies UZH 2023
    18 September 2023
  • Pengumuman Hasil Seleksi Beariset Belanda 2023
    15 September 2023

Universitas Gadjah Mada

Departemen Antropologi

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

Alamat

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Kontak

antropologi@ugm.ac.id
0274-7103018, 513096 ext. 123
 -

Pranala

Facebook Instagram
Twitter YouTube

© 2021 Departemen Antropologi FIB UGM

Peta SitusKontak Admin

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju