Kota Tangerang masih menguarkan sengat panas sore itu. Sembari berjalan ditemani hawa nan gersang, berdebu, dan panas, saya mengamati jam pulang kerja buruh yang super padat. Suasana ramai ditambah dengan kemacetan parah— menciptakan desah suara yang riuh rendah. Klakson, mobil, dan motor saling besahutan, langkah tergesa buruh menambah padat suasana. Sambil berjalan— menyeruput es teh dan menyeka keringat— nampak para pekerja berseragam biru khas pabrik sepatu setempat berkalan kaki, berjejalan. Berdesak-desakkan mereka berjalan maju, mengarung kemacetan jalan, bergelut dengan kendaraan yang saling klakson dan menyalip sadis. Di tengah kemacetan sedemikian rupa, para buruh masih melenggang— wajah mereka nampak lelah namun lega seolah sudah terlampau rindu dengan rumah mereka di kampung buruh yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja.
Diatas merupakan sedikit cuplikan soal pengalaman riset saya di Kota Tangerang. Mungkin agak cukup berbeda ketika membayangkan penelitian antropologi di wilayah urban— sementara riset-riset antropologi budaya lebih sering dilakukan di desa, masyarakat adat, atau daerah terpencil. Kehidupan urban yang serba cepat dan padat, bagi saya menarik untuk dikulik lebih dalam. Salah satunya ketika membahas tentang kota industri dan isu perburuhan.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dengan total penduduk kurang lebih 240 juta orang, setidaknya mempekerjakan 113 juta tenaga kerja di berbagai sektor seperti pertanian, perdagangan, dan industri. Sektor manufaktur menduduki peringkat ketiga (13,8%) jumlah kerja terbanyak setelah sektor pertanian dan perdagangan.
Fenomena perburuhan dalam sistem pasok global, sejatinya merupakan hal penting untuk diangkat dan dikritisi. Isu dalam wacana perburuhan seperti pemenuhan hak upah layak, PHK, kebebasan berserikat, dan berbagai tetek bengek permasalahan seringkali hanya dikupas dalam segi struktural saja. Sementara kultur buruh dengan cakupan nan dinamis masih jarang dibahas, dan nampaknya bisa menjadi celah bagi antropolog untuk mulai masuk dalam ranah kajian perburuhan. Pun mengutip pernyataan Nico Warouw, Ph.D. beberapa tahun lalu[1], bahwasannya “penelitian tentang keberadaan buruh di tengah masyarakat dan komunitas masih sangat jarang dilakukan”.
Soal-soal kultural dalam kehidupan sehari-hari buruh menjadi hal penting untuk dikaji dalam disiplin antropologi. Memulai lewat riset tandem, saya meneliti mengenai kekerasan berbasis gender dalam relasi perburuhan. Tentang isu gender yang masih terpinggirkan dalam wacana perburuhan di Indonesia. Selama ini, saya sedikit banyak melihat bahwa isu perburuhan seringkali terpaku pada permasalahan pemenuhan hak dasar (normatif) kaitannya dengan hubungan vertikal pengusaha-buruh— ketimbang mengangkat lebih dalam isu buruh dalam ranah kultural, misal soal kekerasan berbasis gender yang saya angkat kaitannya dengan hegemoni maskulinitas dalam masyarakat.
Menemukan berbagai permasalahan buruh di ranah kultural, membuat saya semakin tertarik untuk menggali dan mengkaji soal perburuhan secara lebih dalam. Budaya konsumtif, kultur serikat, kekerasan, bahkan tentang diaspora mereka (karena hampir seluruh buruh di Jakarta dan Tangerang merantau dari jawa)— dan kompleksitas isu buruh memiliki implikasi signifikan bagi kehidupan masyarakat dan diperlukan khususnya untuk memahami konteks perburuhan di Indonesia.
Mengulik kehidupan urban sebagai arena kontestasi masyarakat melalui riset di wilayah buruh— rupanya mampu menjadi refleksi bagi saya. Seolah melihat ‘sisi-lain’ kota yang sering digembar gemborkan soal metropolis-nya, kemacetan, hingar-bingar, dan perannya sebagai ‘pusat’, ternyata menyimpan problematika yang tak bisa dilihat melalui sekelebat pandang saja. Kota sebagai arena kontestasi, menjadi lebih problematis ketika didekatkan dengan narasi soal multikompleksitas relasi rural-urban di tengah masyarakat “modern” seperti saat ini.
[1] Disampaikan dalam Seminar Kajian Perburuhan Indonesia : Survei Literatur dan Agenda Penelitian di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM 13/05/2015. http://ugm.ac.id/id/berita/10003-penelitian.tentang.buruh.di.indonesia.masih.minim diakses pada 10/6/2018
Oleh: Eliesta Handitya