Pada awalnya saya berencana langsung melakukan penelitian pengelolaan lingkungan hutan dan pertanian di wilayah Schwarzwald, Black Forest, di Jerman Selatan. Namun saat memulai kerja di musim panas 2017, saya mendapat tempat tinggal di Ihringen, desa pertanian anggur di wilayah Kaiserstuhl, yang sedikit berada di luar Schwarzwald. Di Ihringen saya mengumpulkan data tentang budidaya dan pengolahan anggur yang sudah dimulai sejak Jaman Romawi, abad ke 10. Saya memasuki Schwarzwald mengikuti Michel, petani sayur dan buah organik dari Ihringen yang menjual hasil panen di Marktplatz, Waldkirch, sebuah kota tua di Schwarzwald yang terkenal dengan industri alat musik organ tiup. Marktplatz, dengan tugu pancuran air gunung yang jernih dan bisa diminum langsung, terletak di depan balaikota dengan hari pasar Rabu dan Sabtu.
Kota-kota di Jerman punya pasar mingguan, seperti di Jawa masa lalu ketika pasar belum menjadi kegiatan rutin harian. Pedagang di Marktplatz sebagian adalah petani yang bekerja total dari budidaya hingga ke penjualan untuk memaksimalkan usaha. Mereka membawa panen rumah pertanian, hof, masing-masing; sayur, buah, madu, keju, roti dan sosis. Ada juga penjual hasil kriya dari kayu, sabun, selai, minyak ekstrak, jamu daun-daunan, ikan laut dan daging segar.
Jam 7 pagi para pedagang mulai berdatangan dengan trailernya. Mereka segera memasang tenda , menggelar barang dagangan di atas meja sambil saling menyapa. Sayur dan buah yang harus laku hari ini dipasang di posisi prima yang segera menarik pandangan pembeli, sayur yang lebih awet dipasang agak di samping dan belakang. Belum lagi semua kios buka, pembeli sudah mulai berdatangan, berbelanja keperluan harian. Mereka menghampiri kios langganan meminta sayur ini, buah itu: “Yang bagus ya ..”. Pedagang dengan grapyak, menyapa pembeli. Michel yang lama tinggal di Itali, menyambut seorang pelanggannya, “Nicoletta mia bella. Ini saya bawakan buah ceri spesial dari kebun Wasenweiler”. Karl penjual madu dengan serius menjelaskan kepada seorang pembeli: “Tahun ini, panen banyak madu akasia dari hutan Wildtal”.
Di Marktplatz Waldkirch orang belanja makanan, buah dan sayuran segar yang ada asal usul dan ceriteranya; ditanam petani siapa, di desa mana. Pasar Waldkirch menjadi tempat bertemu kawan, minum kopi bersama; menjadi ruang publik para petani dan penduduk desa, tempat bertukar kabar, bertegur sapa. Pasar Waldkirch adalah arena yang ramai dan penuh daya hidup, namun menurut Michel tradisi ratusan tahun ini kian redup riwayatnya.
Pasar Waldkirch saat ini diterpa arus jaman. Kebanyakan hanya orang tua yang berbelanja dan penjualnya juga petani yang kian menua tanpa ada tanda kedatangan penerusnya. Orang-orang muda yang sibuk lebih suka membeli bahan sayur dan buah plastikan, yang entah dari mana negeri asalnya, di supermarket. Kebanyakan anak-anak petani enggan meneruskan usaha orang tua. Tanah disewakan ke perusahaan raksasa pertanian yang dikendalikan oleh rasionalitas mencari laba. Para pemuda berbondong memasuki dunia usaha. Bekerja di pabrik-pabrik modern, memakan sayur dan buah produk industri.
Michel agak dramatis namun mungkin ada benarnya juga. Musim panas lalu para pedagang meletakkan buket dan lentera lilin menyala, tanda duka cita, di tempat biasanya Heinz petani sayur dari Botzingen selama 40 tahun berdagang. Ia meninggal terkena serangan jantung. Tahun ini, saya melihat tempat Heinz tetap kosong, tidak ada yang menggantikannya.
Oleh: Pujo Semedi