Kontak antara Vietnam dengan Jerman tercatat telah terjadi secara intensif sejak tahun 1955 hingga awal tahun 1980-an. Situasi dunia saat itu mendorong perpindahan besar penduduk Vietnam ke Jerman dengan berbagai latar belakang: dari kerjasama bilateral, hingga perang dan pengungsian. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa itu merefleksikan apa yang dikatakan oleh Castles dan Miller (2003) sebagai “age of migration”, yaitu ketika dunia terkoneksi secara progresif dan berbagai bentuk perpindahan manusia meningkat masif, namun tidak bisa melintasi ruang dengan bebas, yang mana perpindahan itu dikontrol oleh negara dan keuangan global. Gambaran historis proses migrasi penduduk Vietnam ke Jerman merangkai benang merahnya, membawa serpihan dampak politik dunia tiga puluh tahun yang lalu, menuju Freiburg; kota kecil yang menempatkan sebagian kecil migran Vietnam menjadi individu-individu yang menjalani hidup seperti “biasa” layaknya masyarakat Jerman lain; bekerja membangun usaha dan membayar pajak sebagaimana warga negara Jerman lainnya, tinggal di lingkungan bersama dengan penduduk Jerman lainnya, berbahasa Jerman seperti orang Jerman lainnya.
Meneliti migran – sebagai migran – di negara lain, menumbuhkan buah pemikiran akan pentingnya melakukan refleksi di dalam metodologi penelitian untuk menjaga frekuensi kepekaan terhadap isu yang diteliti. Tantangan-tantangan di lapangan – kesulitan komunikasi karena keterbatasan bahasa, membangun kepercayaan, kesibukan dan waktu luang, serta perbedaan lainnya – nampaknya hanya akan menjadi tembok penghalang tanpa menyadari bahwa peneliti adalah alat penelitian utama dalam melakukan etnografi (Murchison 2010). Merelakan waktu untuk menilik kembali pendekatan yang telah dilakukan sampai meninggalkan sejenak seluruh kontak informan, saya mulai menjalin interaksi dengan lingkungan yang belum saya jajaki, bergabung dengan migran-migran dari Indonesia, memperkenalkan diri pada Freiburger, meresapi kehidupan di kota Freiburg, menjadi migran dan segala konsekuensinya.
Context sensitivity therefore means openess for this reflextive condition of research practice and interactive nature of meaning-making procedures of the involved subjectivities (Huotari 2014). Pemikiran dialektis selama fase refleksi ini menjadi penting untuk memahami bagaimana pengalaman sehari-hari peneliti di lapangan berpengaruh dalam memahami konteks penelitian. Menempatkan kembali peneliti di dalam tindak tanduk yang “alami” sebagai manusia meluruhkan sedikit banyak jarak, baik antara peneliti dengan tineliti dan antara barat dan timur. Kepekaan peneliti tidak lagi berada di menara gading. Relasi antara peneliti dan tineliti berarti juga; relasi antara migran Vietnam dan migran Indonesia; antara pengusaha restoran dan pelanggan, dan hubungan yang baik menyusul kemudian. Frasa “all men (and women) are created equal” selain membawa para migran menuju pelabuhannya, juga membawa penelitian ini menuju temuannya.
Oleh: Tiara Dewiyani